Flores Dan
Budayanya
Flores, dari bahasa
Portugis yang berarti "bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali
dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores, pada tahun
2007, mencapai 1,6 juta jiwa. Puncak tertinggi adalah Gunung Ranakah (2350m)
yang merupakan gunung tertinggi kedua di Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis,
2427m di Timor Barat. Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan
Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah
satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Flores, dengan luas,
jumlah penduduk dan sumber daya baik alam maupun manusia yang dinilai cukup
memadai, kini tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di
NTT. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di
sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di
sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca.
Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut,
terdapat pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan
pulau-pulau kecil tersebut, terdapat kepulauan Alor. Di sebelah tenggara
terdapat pulau Timor.
Di sebelah barat daya terdapat pulau Sumba,
di sebelah selatan terdapat laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores terdapat Sulawesi.
Suku bangsa Flores adalah
merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia,
dan Portugis.
Dikarenakan pernah menjadi Koloni Portugis,
maka interaksi dengan kebudayaan Portugis sangat
terasa dalam kebudayaan Flores, baik melalui genetik, agama, dan
budaya.
Pulau Flores merupakan salah satu pulau besar di Provinsi NTT yang terdiri dari berbagai macam budaya, diantaranya: Budaya Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada dan Manggarai. Masing-masing kebudayaan penjabarannya sebagai berikut:
Pulau Flores merupakan salah satu pulau besar di Provinsi NTT yang terdiri dari berbagai macam budaya, diantaranya: Budaya Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada dan Manggarai. Masing-masing kebudayaan penjabarannya sebagai berikut:
1. 1. BUDAYA FLORES TIMUR
Flotim
merupakan wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan
kabupaten Alor di timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan
selatan, laut Sawu. Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang
Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah
adat orang Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah
adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi
yang mengciptakan dan yang empunya bumi). Pelapisan social masyarakat
tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal
adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku
Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan
mengolah tanah dari suku Mehen. Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang
dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang
dibantu suku Ketawo. Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama
terlihat dalam ungkapan sebagai berikut: Ola tugu,here happen, lLua watana,
Gere Kiwan, Pau kewa heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran. Artinya:
Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di
gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada
pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
2. BUDAYA SIKKA
2. BUDAYA SIKKA
Sikka
berbatasan sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu,
dan sebelah timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten
Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2. Ibu kota Sikka ialah Maumere
yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal
dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan
bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap
disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman
pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal
menjadi tuan tanah di wilayah ini. Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka.
Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan
bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan
pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa
keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri
pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan
semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal
sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha. Secara umum masyarakat kabupaten
Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3) ata
Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata Goan,
(5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10)
ata Bura. Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender
pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo
(Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta
memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk
memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender
kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus -
September).
3.BUDAYA ENDE
3.BUDAYA ENDE
Batas-batas
wilayahnya yang membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian
timur dengan kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan
laut Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim
daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun
dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan November s/d Januari.
Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan adalah wilayah tengah seperti
kawasan gunung Kalimutu, Detusoko, Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d
4000 mm/tahun. Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh,
Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang
kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14 pada waktu
orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai
sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende. Ende/Lio
sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun
demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau
Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri
khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut
Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam
kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari
pada Ende. Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula
dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian
diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk
ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat
dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang. Lapisan bangsawan masyarakat
Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah disebut Mosalaki puu
dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan
disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo
dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.
4. BUDAYA
NGADA
Ngada merupakan kabupaten yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter di atas permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu. Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat). Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada
5. BUDAYA MANGGARAI
Manggarai terletak di ujung barat
pulau Flores, berbatasan sebelah timur dengan kabupaten Ngada, barat dengan
Sealat sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima, utara dengan laut Flores dan selatan
dengan laut Sabu. Luas wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat dikatakan paling
subur di NTT. Areal pertanian amat luas dan subur, perkebunan kopi yang
membentang disebahagian wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu dalam setahun
mencapai 27,574 mm, sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm) turun pada
bulan Januari. Ibu kota Manggarai terletak kira-kira 1200 meter di atas
permukaan laut, di bawa kaki gunung Pocoranaka Pembentukan keluarga batih
terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak
Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua
(turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga
mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki
mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua
(kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema
(bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu
(saudara wanita atau istri). Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3
golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang (
kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai
kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan
bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat
jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum
penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah
status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja
rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat
dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya.
Sumber : http://florianuslado.blogspot.co.id/2014/01/flores-dan-budayanya.html